Scroll Untuk Baca Berita
Daerah

Mediasi Sebagai Alternatif Mengurangi Perkara yang Menumpuk

869
×

Mediasi Sebagai Alternatif Mengurangi Perkara yang Menumpuk

Sebarkan artikel ini

BLORA – Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Blora Djati Walujastono menyampaikan sengketa dapat terjadi dimana dan kapan saja.

“Sengketa muncul karena perbedaan kepentingan, namun pada dasarnya sengketa bisa diselesaikan dengan pendekatan non litigasi (diluar jalur Pengadilan), melalui proses mediasi (musyawarah-mufakat) dengan bantuan mediator,” terangnya, Senin (31/8/2020).

Menurutnya, kebutuhan akan tenaga mediator yang professional dalam penyelesaian sengketa menjadi hal yang tidak bisa dielakkan lagi.

Mediasi sebagai alternatif penyelesaian konflik akan menjadi pilihan masyarakat. Di samping itu, proses ini akan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.

“Suatu keuntungan dari proses mediasi adalah sifatnya yang tertutup akan memberikan jaminan privasi dari pihak-pihak yang bersengketa,” ucapnya.

BACA JUGA :  Akses Jalan Dusun Tlagasari Bantar Longsor, 350 Jiwa Terancam Terisolir Masyarakat dan Pemda Harus Bergotong Royong

Pada proses mediasi, dibutuhkan tenaga professional yaitu mediator. Tenaga professional mediator ini harus memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memetakan konflik, bernegosiasi, berkomunikasi, serta menyusun nota perdamaian.

Perkara yang lewat mediasi lebih cepat waktunya, murah, fleksibel, rahasia dibanding kalau lewat pengadilan.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2016 pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi.

Setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. Sedangkan fungsi mediator adalah sebagai katalisator, pendidik, penerjemah, nara sumber, penyandang berita jelek, agen realitas dan sebagai kambing hitam.

BACA JUGA :  Sinergitas AWPI dan Karang Taruna Membantu Bencana Korban Banjir

Tipologi mediator dibagi menjadi tiga, yaitu Social Network mediator (mediator jaringan social), Authoritative mediator (mediator otoritatif) dan independent mediator (mediator mandiri)

“Mediator merupakan salah satu profesi yang menjalankan tugas dan fungsi dalam menyelesaikan segala sengketa yang terjadi di lingkungan masyarakat,” ucapnya.

Mediator dalam menjalankan profesinya berada di bawah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kode etik.

Dalam menjalankan profesi, mediator, bersifat netral (tidak memihak) dan memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kejujuran, kehormatan, kemandirian, kerahasian dan keterbukaan. Sehingga dalam menjalankan profesi sebagai mediator harus memahami berbagai aturan di dalam bertindak baik sesama teman sejawat maupun kepada masyarakat pengguna jasa mediator.

BACA JUGA :  Kapolda Sulut Buka Rakernis Fungsi Propam

Untuk itu setiap mediator diwajibkan untuk menjaga etika, kewibawaan, martabat, dan kehormatan profesi mediator, serta setia dan menjunjung kode etik mediator.

“Yang mana pelaksanaan kode etik ini diawasi oleh Dewan Pengawas sebagai penegak atas pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota mediator yang tergabung dalam Mediator Masyarakat Indonesia (MMI),” jelasnya.

Dengan demikian agar terjadi kontrol yang baik sehingga dapat memberikan manfaat bagi anggota maupun bagi masyarakat luas. (Hans)