Munculnya keberadaan anak jalanan disebabkan oleh tidak hadirnya Negara dalam mengatasi kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Setelah reformasi pada tahun 1998 krisis melanda negara kita sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan keluarga miskin.
Hal ini diperparah pula oleh perlakuan Negara dalam menangani permasalahan anak jalanan. Terbukti dengan minimnya keseriusan negara dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan dan anak jalanan. Berdasar kajian sosiologi ketidakseriusan negara dalam menangani permasalahan kemiskinan dan perlindungan terhadap anak jalanan dapat disebut sebagai bentuk kekerasan struktural. Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992, hlm 7).
Berdasarkan hal tersebut kekerasan sebagai penyebab perbedaan antara yang aktual dan yang potensial. Artinya, dikatakan terjadi kekerasan bila terjadi penyelewengan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain dan monopoli oleh segelintir orang saja. Dalam kaitan dengan anak jalanan, mereka mengalami kekerasan karena pada nyatanya (aktualnya) pemerintah mampu memberikan perlindungan dan fasilitas (pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan) namun terjadi tindakan pembiaran dan penelantaran oleh pemerintah. Bagi Galtung hal ini merupakan bentuk kekerasan struktural.
Maraknya kenakalan anak terutama anak jalanan mencederai tujuan hukum Indonesia mengingat Negara Indonesia adalah negara hukum yang menghendaki agar hukum ditegakkan oleh seluruh anggota masyarakat. Hukum merupakan kekuasaan yang mengatur dan memaksa serta mempunyai sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya permasalahan hukum semakin marak terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang semakin pesat.












