NASIONALXPOS.CO.ID, BANGLI – Sidang lanjutan kasus dugaan penghinaan kertha desa adat Tegalalang dengan agenda tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Bangli terhadap terdakwa Wayan Karmada alias Gopel kembali digelar di Pengadilan Negeri Bangli. Rabu, (3/12/2025) pukul 12.30 Wita.
Dalam dakwaan primernya, JPU menilai perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana dengan sengaja menyerang kehormatan seseorang melalui ucapan dan tindakan di muka umum.
“Hal-hal yang memberatkan, antara lain belum ada perdamaian antara korban dan terdakwa, serta tindakan terdakwa dinilai melukai perasaan warga Desa Adat Tegalalang,” ujar JPU dalam tuntutannya.
Sementara hal yang meringankan menurut JPU adalah terdakwa belum pernah dihukum.
JPU kemudian meminta majelis hakim menjatuhkan pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Sebagaimana dakwaan primer penuntut umum yaitu melanggar pasal 316 KUHP dengan menjatuhkan pidana penjara selama 2 bulan dan membebankan kepada terdakwa dengan membayar biaya perkara sebesar 5 ribu rupiah,” lanjut JPU.
Usai sidang, puluhan warga desa Adat Tegalalang yang hadir menegaskan harapan mereka agar hakim memberi hukuman maksimal karena perbuatan terdakwa telah meresahkan warga dan dinilai tidak mencerminkan etika terhadap adat Bali.
“Kami tetap yakin dan berharap terdakwa mendapatkan efek jera yang maksimal. Karena dari awal dia tidak menunjukkan etika dan sopan santun, bahkan sejak awal masuk wilayah desa adat kami,” ujar Sang Ketut Rencana.
Ia juga mengkritik perilaku terdakwa selama proses persidangan yang dinilai tidak kooperatif.
“Sudah beberapa kali majelis hakim menegur. Bahkan saat perkara sudah masuk pengadilan, dia masih membuat laporan baru ke Polres Bangli. Itu lucu menurut kami,” ujarnya.

Sang Ketut Rencana juga membantah kesaksian salah satu saksi meringankan di sidang sebelumnya yang menyebut adanya teguran keras dari pecalang terhadap orang yang melakukan pemotongan pohon.
“Kami punya videonya. Tidak ada kata kasar, hanya menanyakan apakah sudah lapor prajuru atau belum,” tegasnya.
Sementara Bendesa adat desa Tegalalang meminta agar putusan hakim nanti benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat adat.
“Kami hanya berharap putusan sesuai perbuatannya. Biar ada efek jera dan kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” ucap Bendesa.
Kasus ini kembali menyoroti bagaimana norma adat Bali memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Warga desa adat Tegalalang menilai bahwa perkara ini bukan sekedar delik kehormatan, tetapi juga soal penghormatan terhadap wilayah adat termasuk tata krama saat berada di wilayah desa adat.
Pihak desa adat Tegalalang juga berkomitmen akan tetap mengawal kasus ini hingga selesai dan sesuai dengan harapan warga desa adat. Sidang lanjutan berikutnya dijadwalkan akan digelar pada pekan depan dengan agenda nota pembelaan. (Uchan)













