NASIONALXPOS.CO.ID, KOTA TANGERANG – Kebijakan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 Provinsi Banten secara resmi menghapus kewajiban legalisir dokumen. Namun, warga Kota Tangerang justru dipaksa mengantre panjang demi mendapatkan stempel legalisir akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK) yang sejatinya tak lagi dibutuhkan.
Plh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Lukman, menegaskan bahwa legalisir tidak diwajibkan, khususnya bagi dokumen yang sudah digital dan dilengkapi Tanda Tangan Elektronik (TTE).
“Legalitas akta kelahiran dan KK tidak perlu dilegalisir jika sudah digital, terutama yang sudah dilengkapi tanda tangan elektronik (TTE),” kata Lukman dalam peluncuran SPMB 2025 di SMK Negeri 3 Kota Tangerang, Jumat (13/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa sistem PPDB tahun ini telah terintegrasi dengan sistem kependudukan nasional melalui NIK, sehingga verifikasi keabsahan dokumen dapat dilakukan secara otomatis tanpa proses legalisasi manual.
Namun di lapangan, kenyataan berkata sebaliknya. Pada Sabtu (14/6/2025) Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Tangerang diserbu warga. Puluhan orang tua mengantre sejak subuh, bahkan sebagian gagal mendapat nomor antrean meski sudah datang sebelum matahari terbit.
Rizal Ridhallah, Kepala Disdukcapil Kota Tangerang, membenarkan bahwa pihaknya membuka layanan khusus di hari libur untuk merespons lonjakan permintaan legalisir.
“Benar, kami buka layanan Sabtu dan Minggu karena permintaan sangat tinggi. Banyak warga datang untuk legalisir KK dan akta kelahiran, khususnya untuk keperluan PPDB,” ujarnya.
Seorang ibu mengaku datang pukul 05.30 pagi dan tetap tidak mendapatkan antrean. “Saya hanya ingin anak saya bisa sekolah. Tapi disuruh legalisir dulu. Petugas bilang lebih aman. Padahal katanya semua sudah digital,” keluhnya.
Kondisi ini memperlihatkan kegagalan koordinasi antarinstansi. Meski Dinas Pendidikan sudah menyatakan legalisir tidak lagi perlu, disinformasi dan ketidaksiapan di tingkat pelaksana membuat warga tetap terjebak pada sistem manual.
Aktivis pendidikan dari LSM Portas, Hilman Santosa, menyebut situasi ini sebagai cermin dari kebijakan yang buruk dan tidak berpihak pada rakyat.
“Ini bukan soal kesalahan teknis, ini cacat sistemik. Negara punya data, punya infrastruktur, tapi gagal menyatukan arah. Rakyat akhirnya disuruh mengurus dokumen yang sebenarnya sudah sah secara hukum, hanya karena satu alasan: ketidakmampuan birokrasi memahami sistem yang mereka buat sendiri,” tegasnya.
“Kalau begini caranya, digitalisasi cuma jadi kamuflase. Yang dipermudah hanya narasi pejabat, bukan kenyataan rakyat.” kata Hilman. (cenks)