Opini

Fenomena Bupati ‘Ultraman’ Antara Citra, Popularitas atau Kinerja?

300
×

Fenomena Bupati ‘Ultraman’ Antara Citra, Popularitas atau Kinerja?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Agung Ch

Sosok seorang Bupati yang belakangan viral karena diduga menganggap dirinya sebagai Ultraman memicu beragam tanggapan publik. Fenomena ini bukan sekadar unik, tapi menyisakan pertanyaan serius: apakah ini hanya upaya membangun citra diri, mendongkrak popularitas, atau justru mengganggu fokus utama sebagai kepala daerah?

Sebagai pemimpin, idealnya seorang Bupati mampu memisahkan antara persona publik dan tanggung jawab profesional. Jika perhatian lebih banyak tercurah pada pencitraan dan sensasi, maka bisa jadi tugas utama dalam mengelola pemerintahan dan melayani rakyat akan terpinggirkan.

Ketika pemimpin terlalu sibuk membangun citra “pahlawan super”, maka risiko terbesarnya adalah kehilangan arah. Alih-alih mengambil keputusan berdasarkan data dan kebutuhan masyarakat, keputusan bisa saja lebih dipengaruhi oleh bagaimana citra dirinya tampil di media sosial atau pemberitaan publik.

Hal ini tentu berpotensi mengganggu efektivitas kebijakan publik, termasuk dalam hal pembangunan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, hingga pelayanan dasar masyarakat.

Memiliki kepribadian yang ekspresif atau kekanak-kanakan secara positif memang bukan kesalahan. Dalam batas tertentu, itu bisa menjadi energi segar, bahkan inspiratif. Namun ketika berlebihan, hal ini bisa mengganggu kemampuan pemimpin dalam membuat keputusan yang matang dan bijak.

Seorang Bupati perlu mampu menjaga keseimbangan antara sisi personal yang unik dan tanggung jawab profesional sebagai kepala pemerintahan.

Pertanyaan penting yang harus dijawab: apakah popularitas lebih diutamakan daripada kinerja? Ataukah sang Bupati sudah menemukan keseimbangan ideal antara karakter pribadinya dan tugas kepemimpinan?

Jika tidak segera dievaluasi, strategi pencitraan yang berlebihan bisa menjadi bumerang. Kepercayaan publik bisa luntur, dan hal ini akan berdampak pada legitimasi serta efektivitas pemerintahannya.

Pemimpin bukanlah tokoh fiktif yang hanya tampil saat sorotan kamera menyala. Ia adalah pelayan masyarakat yang bekerja nyata, menyelesaikan masalah, dan merumuskan kebijakan yang berdampak luas.

Semoga fenomena “Bupati Ultraman” ini bisa menjadi refleksi bagi semua kepala daerah agar tidak larut dalam pencitraan, melainkan fokus pada kinerja dan pelayanan kepada rakyat.

Tinggalkan Balasan