Opini

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai Solusi Penanganan Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan

832
×

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai Solusi Penanganan Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan

Sebarkan artikel ini
Foto: Firdaus,AMD.IP, S.H, M.H

Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pembinaan terhadap Narapidana (Undang–Undang RI Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 18). Di Indonesia terdapat banyak Lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar dari Lapas-Lapas tersebut telah terjadi over kapasitas. Bahkan over kapasitas yang terjadi mencapai lebih dari 100%. Tentu kondisi tersebut bisa berdampak negatif serta berpengaruh pada proses menjalankan pidana dan pembinaan dari seorang narapidana di Lapas. Akibat dari adanya over kapasitas tersebut, antara lain berdampak pada buruknya kondisi kesehatan dan suasana psikologis warga binaan dan tahanan, mudahnya terjadi konflik antar penghuni Lapas/Rutan, pembinaan menjadi tidak optimal dan tidak berjalan sesuai ketentuan serta terjadi pembengkakan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, dan bahan makanan bagi para Narapidana.

BACA JUGA :  FKPPI Sulut Mengunjungi Korem 131/Santiago, Disambut Baik Danrem

Over kapasitas di dalam Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu dampak dari proses peradilan pidana yang masih mengutamakan pemenjaraan bagi para pelaku tindak pidana. Salah satu tindak pidana yang sangat mendominasi di setiap Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia salah satunya adalah kasus tindak pidana narkoba dimana setiap para pelaku penyalahgunaan narkoba terutama pengguna masih harus  berakhir pada putusan pidana di dalam Lapas. Hal ini  disebabkan oleh sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih sangat bergantung pada penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama.

Kondisi ini menggugah kita untuk mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan yang digunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum pidana yang dipahamai selama ini adalah menjatuhkan sanksi terhadap yang bersalah atau yang melanggar hukum dengan sanksi yang masing-masing telah ditentukan. Penjatuhan atau pemberian sanksi tersebut ditujukan untuk memberikan efek jera terhadap yang melanggar maupun terhadap masyarakat lainnya untuk dijadikan pelajaran. Namun belum tentu orientasi dalam penegakan hukum pidana tersebut akan memberikan pemulihan terhadap korban dan pelaku secara langsung. Maka daripada itu restorative justice memberikan upaya baru dengan melakukan pendekatan antara pelaku dan korban secara langsung untuk mengambil jalan tengah terbaik dengan kesepakatannya, serta dapat memulihkan korban dan pelaku secara langsung dalam waktu yang cepat  melalui kesepakatan bersama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *